Mengapa Hanya TUT WURI HANDAYANI ?

Tut Wuri Handayani, itulah semboyan pendidikan kita, melingkar di atas logo pendidikan. Diambil dari “petuah” sang Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, yang lengkapnya berbunyi : Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Jika diartikan kurang lebih sperti ini artinya : Di depan memberi contoh, di tengah ikut membangun, di belakang memberdayakan. Betapa petuah yang singkat namun mengandung makna yang dalam. Dalam mendidik seorang manusia, dia perlu diberi contoh bagaimana manusia itu seharusnya. Tanpa sebuah contoh akan sulit untuk memberikan suatu imajinasi. Setelah melihat contoh, barulah manusia tersebut masuk pada tahap meniru apa yang dicontohkan. Inilah tahap seseorang belajar. Dalam proses belajar, seseorang tidak mungkin akan langsung mencapai hasil sesuai keinginan. Ada halangan dan rintangan yang pasti akan dialami. Di sinilah peran seorang pendidik untuk menjaga semangat belajar. Dalam membimbing, pendidik juga harus ikut mengerti apa yang dialami anak didiknya. Hal ini perlu untuk mencari solusi saat menjumpai kesulitan. Setelah mengalami proses belajar, pendidik juga harus mendorong untuk lebih bersemangat dalam belajar. Memberi dukungan untuk mencapai lebih dari apa yang telah dicontohkan. Dengan demikian, pesan dari sang Bapak Pendidikan adalah jelas bahwa pendidikan harus berlangsung secara menyeluruh dan berkesinambungan. Tiga kalimat beliau merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak boleh hanya diambil salah satu. Ketiga kalimat di atas saling terkait satu sama lain. Tidak ada yang satu lebih penting dari yang lain. Semuanya penting dan semuanya saling berhubungan. Perpaduan ketiganya akan menjadikan pendidikan akan menjadi kokoh dan berkarakter, mempunyai arah yang jelas.

Namun jika kita lihat semboyan pendidikan kita, muncul pertanyaan : mengapa hanya Tut Wuri Handayani? Apakah Tut Wuri Handayani lebih penting dari pada Ing Ngarso Sung Tuladha dan Ing Madya Mangun Karsa? Apakah hanya dengan berada di belakang kita bisa memajukan pendidikan? Saya sendiri tidak tahu mengapa pendidikan kita mengambil semboyan tersebut.

Saya jadi teringat kata-kata mutiara : apalah artinya sebuah nama. Namun saya juga pernah dengar bahwa nama akan mencerminkan pribadi si empunya. Mana yang benar saya juga tidak tahu. Orang-orang Jawa yang sangat lekat dengan aroma kejawen, akan memberi nama pada anaknya dengan harapan bahwa anak tersebut kelak akan menjadi orang yang mempunyai kepribadian sesuai dengan namanya. Sebagai contoh, seorang bapak memberi nama anaknya Susilo, dengan harapan kelak akan menjadi manusia yang menjunjung tinggi kesusilaan dan penuh dengan tata krama.

Jika saya analogikan dengan semboyan pendidikan, pantas saja pendidikan kita selalu di belakang. Lha wong semboyannya saja Tut Wuri Handayani, maka tidak heran jika pendidikan kita berada di belakang. Dalam pemerintahan, urusan pendidikan bukan agenda terdepan dalam pembangunan nasional. Dalam daftar peringkat pendidikan dunia, Indonesia masih berada pada barisan belakang. Bahkan dalam seminar, rapat, loka karya, workshop, forum diskusi dan lain-lain, kita lebih senang duduk di belakang. Mencari tempat duduk yang nyaman di barisan belakang adalah sesuatu yang menyenangkan bagi kita.

Mungkin itulah “kutukan” dari semboyan itu sendiri. Pendidikan kita selalu di belakang, tak pernah merasakan di tengah, apalagi posisi terdepan. Saat saya membaca komentar-komentar pada blog rekan-rekan guru, banyak yang menyerukan “maju terus pendidikan kita”, atau “semoga pendidikan kita lebih maju”, dan banyak lagi komentar-komentar lain yang sejenis, saya jadi miris. Harus diakui, arah dan tujuan pendidikan kita memang belum jelas. Sang pemegang kekuasaan pendidikan pun hanya sebatas prinsip aji mumpung. Ganti pimpinan, ganti kebijakan. Tidak ada tujuan jangka panjang, hanya mengejar target sesaat. Ingin memperoleh hasil dengan cara instant, adalah hal yang biasa dilakukan. Mereka ramai-ramai gembar-gembor mengatakan bahwa keberhasilan butuh proses yang panjang, namun kenyataanya jauh api dari panggang. Mungkin terdengar pahit, tapi itulah kenyataannya.

Jika suatu saat Anda menjadi panitian seminar atau workshop atau yang sejenisnya, tidak usah sewa kursi banyak-banyak. Cukup tiga baris kursi di shof depan. Kemudian Anda gelar saja tikar atau karpet di barisan belakang. Lalu coba hitung berapa orang yang berani duduk di depan.

10 Responses to Mengapa Hanya TUT WURI HANDAYANI ?

  1. situsonline says:

    untuk apalah sebuah nama,itu kata orng lain,kataku nama itu sangat penting!

  2. M Mursyid PW says:

    Setidaknya tunjukkan bahwa kita memang layak disebut baik dalam bekerja, Pak. Kita semua juga prihatin akan keadaan pendidikan di negara ini. Namun kita tidak boleh terlalu larut dan hanya terlena dalam keprihatinan berkepanjangan.

    • Yassir says:

      Setuju, Pak Mursyid. Keprihatinan hanya akan menambah penderitaan. Idealnya semua harus bekerja dengan baik dan jujur. Namun mereka-mereka yang berusaha jujur dan baik malah justru “ditenggelamkan”. Mungkin kita masih harus menunggu lebih lama dalam keprihatinan…

  3. Realodix says:

    Singkat, tapi sangat bermakna ya…

  4. akhirunsalam says:

    Apa perlu ya pak, merubah semboyan/slogan pendidikan kita agar pendidikan kita tidak selalu dibelakang dari negara negara lain ,emang bener nama itu penting setidaknya kan nama itu mensifati yg empunya nama tersebut

    • Ya sepertinya begitu. Sebab nama biasanya mencerminkan sebuah karakter. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana membentuk sebuah karakter tanpa melihat arti nama.

  5. miki armada ibn utsman says:

    kita tentunya sama-sama tahu semboyan yang mengatakan: “jangan hanya melihat suatu titik itu dari satu arah saja”.
    begitulah halnya dengan pendidikan di Negara kita tercinta ini. memang tidak bisa dipungkiri lagi, semua fakta yang telah anda kemukakan di atas. hanya saja kita masih harus melihat faktor penyebab keadaan pendidikan di negara kita ini dari sudut lain. karena masih ada banyak faktor lain yang ikut serta mempengaruhinya.
    waAllahu ‘alam….

Leave a comment